PENDEKNYA, Rp 200 triliun terdengar besar, tapi jangan terkecoh. Hanya dengan suntikan itu, mendorong pertumbuhan ekonomi sampai enam persen tidak feasible.
Angka itu terlalu kecil dibanding kebutuhan riil, apalagi ICOR kita sekarang tinggi, 6,7. Artinya, setiap rupiah investasi produktif menghasilkan output yang relatif sedikit.
Tanpa kombinasi kebijakan besar lain, reformasi struktural, penurunan ICOR, dan leverage investasi swasta, Rp 200 triliun hanyalah percikan kecil di kolam luas pertumbuhan ekonomi. Hitung-hitungan kuantitatifnya sederhana, dan dari situ terlihat jelas seberapa kecil dampaknya.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya mengumumkan jurus andalan mengguyur likuiditas Rp 200 triliun ke dalam perekonomian. Angkanya memang besar. Kalau dilihat di headline, Rp 200 triliun itu seperti hujan deras yang bisa menyuburkan sawah, membuat bendungan penuh, bahkan meluber sampai jalan raya.
Namun, di balik angka besar itu, pertanyaannya sederhana, apakah guyuran itu cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kita tembus enam persen?
Mari kita lihat dengan cara sederhana. Dunia ekonomi punya satu rumus tua, sering dipakai Bank Dunia atau IMF kalau ingin mengukur efisiensi investasi. Namanya ICOR, Incremental Capital-Output Ratio.
Logikanya gampang, seberapa banyak modal tambahan yang harus ditanamkan untuk bisa menaikkan satu unit output. Semakin rendah ICOR, semakin efisien. Semakin tinggi, semakin boros. Indonesia sekarang berada di posisi yang kurang enak. ICOR kita sekitar 6,7. Artinya, setiap mau menaikkan Rp 1 output, kita butuh Rp 6,7 modal. Boros.
Bandingkan dengan negara tetangga yang ICOR-nya di kisaran 3 sampai 4. Mereka butuh modal lebih sedikit untuk hasil yang sama. Lalu, apa artinya Rp 200 triliun tadi?
Kalau semuanya, betul-betul semuanya, dipakai untuk investasi produktif, bukan untuk ngendon di bank atau jadi subsidi konsumtif, maka tambahan output yang kita dapat hanya sekitar Rp 29,85 triliun. Dengan PDB Indonesia di kisaran Rp 20.000 triliun, tambahan itu berarti pertumbuhan kita naik cuma 0,15 persen poin. Dari 5 persen menjadi 5,15 persen. Atau dari 4,8 persen ke 4,95 persen. Kecil sekali.
Angka 0,15 persen itu bahkan bisa hilang hanya gara-gara harga beras melonjak, atau ekspor komoditas turun sebulan saja.
Jadi jangan terlalu cepat senang membaca angka Rp 200 triliun di koran. Di balik gemuknya angka, dampaknya ke pertumbuhan sangat kurus. Untuk bisa tembus enam persen, kalkulasinya juga sederhana.
Kalau baseline pertumbuhan kita 5 persen, artinya kita butuh tambahan satu persen poin. Satu persen dari PDB Rp 20.000 triliun itu nilainya Rp 200 triliun output tambahan. Dengan ICOR 6,7, kita butuh Rp 1.340 triliun investasi baru. Bukan Rp 200 triliun. Apalagi kalau baseline kita cuma 4 persen, target enam persen berarti harus naik dua persen poin.
Tambahan output-nya Rp 400 triliun. Investasi yang dibutuhkan Rp 2.680 triliun. Jauh. Rp 200 triliun yang diumumkan pemerintah itu bahkan tidak sampai seperenam dari kebutuhan. Itu pun dengan asumsi semuanya jadi investasi produktif.
Padahal kenyataannya, sebagian mungkin untuk likuiditas perbankan, sebagian untuk program bantuan, sebagian lagi untuk menutup defisit jangka pendek. Sisanya baru bisa berubah jadi proyek infrastruktur atau mesin pabrik. Kalau yang benar-benar jadi investasi hanya 50 persen, pertumbuhan yang didorong tinggal 0,07 persen poin.
Tabel simulasi memperlihatkan hal itu. Kalau ICOR tetap tinggi 6,7, PDB Rp 20.000 triliun, dan seluruh Rp 200 triliun jadi investasi, hasilnya pertumbuhan naik 0,15 persen poin. Kalau penyerapan hanya 70 persen, naiknya tinggal 0,1 persen poin. Kalau hanya 30 persen, tinggal 0,045 persen poin.
Nol koma nol empat lima. Itu lebih kecil dari margin of error BPS saat mengumumkan pertumbuhan. Jadi bagaimana caranya supaya uang Rp 200 triliun ini lebih terasa?
Caranya bukan sekadar menambah jumlah, tapi menurunkan ICOR. Kalau ICOR bisa ditekan ke angka 4, efisiensi meningkat tajam. Dengan Rp 200 triliun, kita bisa menghasilkan output Rp 50 triliun. Pertumbuhan naik 0,25 persen poin.
Masih belum cukup memang, tapi lebih lumayan. Atau pemerintah harus bisa menjadikan Rp 200 triliun itu sebagai magnet. Crowd-in istilahnya. Dengan adanya Rp 200 triliun dari APBN atau bank pemerintah, swasta ikut menaruh uang. Kalau bisa memicu tambahan tiga kali lipat dari swasta, total investasinya jadi Rp 600 triliun.
Dengan ICOR 4, output tambahannya Rp 150 triliun. Pertumbuhan naik 0,75 persen poin. Itu baru terasa. Namun di situlah masalahnya. Menurunkan ICOR tidak bisa dilakukan semalam. Butuh reformasi struktural, perizinan yang lebih sederhana, birokrasi ramping, korupsi dipangkas. Proyek-proyek infrastruktur harus dieksekusi cepat, bukan hanya diumumkan di konferensi pers.
Tenaga kerja harus lebih produktif, logistik lebih murah, listrik lebih stabil. Tanpa itu semua, ICOR tetap tinggi, dan setiap rupiah investasi hanya menghasilkan sedikit pertumbuhan.
Jadi, apakah target pertumbuhan enam persen feasible dengan Rp 200 triliun ini? Jelas tidak. Angka itu terlalu kecil untuk target sebesar itu. Yang dibutuhkan bukan hanya uang, tapi juga efisiensi dan kualitas kebijakan.
Rp 200 triliun hanyalah bensin tambahan. Kalau mesinnya boros, bensin sebanyak itu pun habis tanpa jarak tempuh yang berarti. Saya ingat analogi sederhana.
Bayangkan Anda punya mobil tua yang boros, ICOR 6,7. Anda isi bensin Rp 200.000. Jarak tempuhnya hanya sampai pintu tol. Kalau mobil tetangga lebih irit, ICOR 3, dengan bensin sama dia bisa sampai Bandung.
Pertanyaannya, mau terus isi bensin lebih banyak, atau perbaiki mesin supaya lebih irit? Pemerintah selalu memilih isi bensin. Karena lebih gampang, lebih instan, headline-nya lebih besar. Namun untuk jangka panjang, perbaikan mesin yang menentukan.
Penulis: Munir Sara, Tenaga Ahli Komisi XI DPR RI

