Pak Prabowo, Hentikan Program Makan Bergizi Gratis!

Daftar panjang kasus keracunan makanan oleh siswa di berbagai wilayah di Indonesia semakin mempertegas betapa kacaunya tata kelola program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diselenggarakan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming.

Kasus keracunan ini tidak bisa dipandang enteng karena ini membuktikan kualitas makanan yang disajikan untuk siswa sama sekali jauh dari standar makanan bergizi. Esensi utama yang digadang-gadang menjadi pilar utama untuk memperbaiki kualitas asupan gizi siswa di Indonesia dalam rangka mencapai Indonesia Emas 2045.

Kegagalan dalam memenuhi standar gizi yang layak ini merupakan salah satu problematika yang dihadapi pemerintah selain rentetan masalah sistemik yang berada dalam proram MBG tersebut.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu inisiatif kebijakan nasional paling ambisius dalam sejarah pembangunan sosial di Indonesia. Dengan target 82,9 juta penerima manfaat dan dengan proyeksi kebutuhan anggaran sebesar Rp400 triliun dalam lima tahun, program ini diharapkan menjadi intervensi komprehensif untuk menurunkan angka stunting dan wasting, meningkatkan ketahanan gizi, serta memperkuat fondasi sumber daya manusia Indonesia secara menyeluruh.

Meskipun dimaksudkan sebagai kebijakan multisektor yang mengintegrasikan dimensi kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial, kajian yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia menemukan bahwa rancangan kelembagaan dan pelaksanaan program MBG belum dibangun di atas kerangka tata kelola yang memadai. Salah satu temuan paling mendasar adalah ketiadaan regulasi pelaksana setingkat Peraturan Presiden yang mampu memberikan kejelasan mandat, pengaturan koordinasi lintas sektor, dan pembagian peran antar lembaga secara transparan dan akuntabel.

Hingga pertengahan 2025, pelaksanaan program masih bergantung pada petunjuk teknis internal yang dikeluarkan oleh Deputi Badan Gizi Nasional, yang secara normatif tidak cukup kuat untuk menjamin legitimasi dan keandalan kebijakan publik yang berskala nasional Badan Gizi Nasional selaku pelaksana utama juga menunjukkan keterbatasan kelembagaan yang signifikan.

Fungsi dasar seperti keterbukaan informasi belum berjalan, termasuk ketiadaan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, tidak adanya publikasi dokumen anggaran, perencanaan dan evaluasi secara terbuka, serta tidak tersedia sistem pengaduan yang transparan. Hal ini berimplikasi pada rendahnya akuntabilitas serta terbatasnya ruang kontrol publik terhadap pelaksanaan program.

Penyerapan anggaran makan bergizi gratis (MBG) hingga September 2025 ini baru terserap Rp 13 triliun. Padahal, pagu anggarannya sepanjang 2025 senilai Rp 71 triliun.

Anggaran MBG per akhir Agustus 2025 telah dinikmati oleh 22,7 juta penerima melalui 7.644 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari total 22,7 juta penerima itu, paling banyak yang menikmati dari wilayah Jawa mencapai 13,26 juta penerima. Lalu, di Sumatera sebanyak 4,86 juta penerima. Adapun di wilayah Bali-Nusa Tenggara sebanyak 1,34 juta penerima, Sulawesi sebanyak 1,7 juta jiwa, Kalimantan 1,03 juta orang, dan Maluku-Papua sebanyak 520 ribu jiwa.

Pemerintah mengklaim bahwa MBG telah menciptakan 290 ribu lapangan kerja baru di dapur-dapur, dan melibatkan 1 juta petani, nelayan, peternak, dan UMKM.

Transparansi International Indonesia (TII) merilis laporan tentang potensi korupsi dalam pengadaan program MBG ini. Ada lima resiko utama yang diidentifikasi oleh TII yaitu ketiadaan regulasi pelaksana, konflik kepentingan kronis, pengadaan barang dan jasa rawan manipulasi, lemahnya pengawasan, dan meningkatnya resiko kerugian keuangan negara.

Hingga pertengahan 2025 ini, MBG masih dijalankan hanya dengan petunjuk teknis internal. Tidak adanya peraturan presiden membuat pelaksanaan program tidak memiliki pijakan hukum yang cukup serta mengaburkan mandat koordinasi lintas sektor.

Selain itu, penunjukkan mitra pelaksana Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dilakukan tanpa mekanisme verifikasi terbuka. Beberapa yayasan pengelola diketahui memiliki afiliasi dengan aktor politik, institusi militer dan kepolisian, serta kelompok kekuasaan tertentu.

Kajian TII juga menemukan proses pengadaan barang dan jasa dalam MBG tidak mengindahkan prinsip transparansi. Banyak aktivitas pengadaan dilakukan tanpa dokumentasi terbuka, dan tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan berbasis data. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK, sektor pengadaan masih mendominasi kasus suap dan gratifikasi, dan MBG menunjukkan indikasi kuat mengarah ke sana.

Lemahnya pengawasan membuka celah bagi praktif mark-up harga, dengan penggunaan bahan pangan berkuaitas rendah atau tidak layak konsumsi. Salah satu preseden implementasi MBG adalah siswa keracunan makan siang. Belum lagi, terkait pengawasan terhadap pengadaan barang dan jasa.

Hasil kajian Corruption Risk Assesment (CRA) TII, program MBG yang menjangkau 82,9 juta penerima manfaat tanpa melakukan prioritas penerima manfaat, beresiko membebani anggaran negara. Kebijakan ini berpotensi mendorong pelebaran defisit anggaran hingga mencapai 3,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang berarti melampaui batas maksimal defisit 3% PDB sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara. Kerugian negara ini ditaksir mencapai Rp1,8 miliar per tahun di setiap SPPG.

Jumlah SPPG untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus bertambah, dengan 8.018 SPPG telah menjangkau 29 juta penerima per 25 September 2025, dan target mencapai 32.000 unit SPPG hingga November 2025. Mitra SPPG meliputi berbagai pihak seperti TNI, Polri, NU, Muhammadiyah, UMKM, koperasi, dan masyarakat umum yang membangun dan menjalankan SPPG secara mandiri. 

Keterbatasan Anggaran

Desakan dari berbagai pihak untuk menghentikan atau moratorium program MBG itu terus digulirkan para praktisi ekonomi dan sosial. Dilaksanakan sejak 6 Januari 2025 lalu, hingga kini MBG masih jauh dari sempurna dalam implementasinya.

Tujuan MBG ini sebenarnya sangat bagus, yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pemenuhan gizi, meningkatkan kualitas belajar siswa, dan memberikan dampak ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja. 

Harapannya, dengan asupan makan bergizi yang disediakan pemerintah untuk siswa TK/PAUD, SD, SMP dan SMA dalam kurun waktu tertentu akan meningkatkan kualitas pertumbuhan anak dan pada akhirnya melahirkan anak-anak Indonesia yang cerdas. Selain itu, pengadaan MBG juga diharapkan mampu menggerakkan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja hingga di pelosok desa.

Untuk mewujudkan program tersebut, Presiden Prabowo bahkan rela melakukan efisiensi di semua kementerian/lembaga dan pemda. Anggaran belanja tidak penting dipotong termasuk transfer dana ke daerah (TKD) juga dikurangi.

Berdasarkan Inpres Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja, total efisiensi yang ditargetkan pada tahun ini sebesar Rp306 triliun terdiri dari kementerian/lembaga sebesar Rp256.1 triliun dan dana trasfer ke daerah Rp50 triliun.

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) defisit Rp321,6 triliun atau 1,35 persen dari produk domestik bruto (PDB) per Agustus 2025. Defisit ini terjadi imbas pendapatan yang baru mencapai Rp1.638,7 triliun. Uang yang masuk ke kas negara itu menyentuh 57,2 persen dari target di APBN 2025.

Kendati nilai program MBG jauh dibawah anggaran belanja kementerian pertahanan dan Polri, namun membuang uang triliunan untuk makanan yang tidak bermutu juga sama mubazirnya. Alih-alih mendapatkan siswa yang berkualitas, program ini justru berpotensi menyisakan beragam persoalan di kemudian hari.

Presiden Prabowo sebaiknya mengevaluasi pelaksanaan program ini secara lebih komprehensif, tidak saja dari segi penganggaran tapi juga pengawasan dan penerima manfaat.

Perbaiki Tata Kelola

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang baik harus memenuhi kecukupan gizi sesuai Angka Kecukupan Gizi (AKG), menjamin keamanan pangan dan kebersihan, serta tepat sasaran pada anak yang membutuhkan.

Pelaksanaannya perlu melibatkan pengawasan ketat dari berbagai pihak termasuk masyarakat dan organisasi sipil, serta memanfaatkan bahan pangan lokal dan adaptif terhadap kondisi daerah agar program ini dapat berkelanjutan dan berdampak positif.

Untuk memenuhi kebutuhan kecukupan gizi, penyelenggara harus memastikan menu memenuhi kebutuhan gizi anak sesuai usia dan kondisi kesehatan, mencakup kebutuhan energi, protein, dan zat gizi lainnya sesuai standar AKG. Proses pengolahan makanan dengan standar kebersihan tinggi dan tingkat kematangan sempurna, mulai dari penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi, dan patuhi prosedur operasional standar (SOP) untuk mencegah kontaminasi makanan.

Pemerintah juga harus mengidentifikasi penerima manfaat program MBG secara lebih rinci. Gunakan metode berbasis data dan survei untuk mengidentifikasi anak-anak yang paling membutuhkan bantuan makanan bergizi, bukan sekadar berdasarkan dokumen administratif. Berikan program kepada anak-anak yang paling rentan dan membutuhkan, terutama di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). 

Yang paling penting adalah transparansi dan akuntabilitas program. Audit berkala terhadap pelaksanaan program, baik dari sisi kinerja maupun keuangan, dan laporkan hasilnya secara terbuka kepada publik untuk perbaikan kebijakan.

Ingat, uang MBG adalah duit rakyat yang seharusnya dipertanggungjawabkan pengelolaannya. Penggunaan yang semena-mena justru akan memicu masalah baru di masa datang.

Langkah bijak yang harus diambil oleh Presiden Prabowo adalah menghentikan atau moratorium program MBG, sembari melakukan analisis dan evaluasi serta pemetaan lebih dalam agar selanjutnya program ini dapat mencapai target yang diinginkan.

Penulis: Dr. Suyono Saputra, SE. MM (Ketua ISEI Cabang Batam)