JAKARTA: Pemerintah menetapkan target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025 sebesar Rp230 triliun, sementara salah satu pelaku industri rokok terbesar di Indonesia PT Gudang Garam berada diambang kebangkrutan.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menyampaikan target perolehan CHT dalam APBN 2025 tetapkan sebesar Rp230,09 triliun.
“Sampai dengan Mei 2025, realisasi penerimaan cukai tembakau sekitar sekitar 37,82 persen atau Rp87 triliun,” ujarnya.
Industri tembakau nasional dinilai terus mendapat cobaan dari regulasi dan cukai yang mencekik. Hal tersebut bakal membuat target penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT) tahun ini tidak akan tercapai lagi.
Diketahui, target penerimaan CHT pada 2023 adalah Rp232,5 triliun, namun realisasinya hanya mencapai Rp213,48 triliun atau 91,78 persen dari target APBN. Sementara target penerimaan CHT untuk 2024 sebesar Rp230,4 triliun, namun realisasinya hanya Rp216,9 triliun atau 94,1 persen dari target.
Adapun pada tahun ini pemerintah menetapkan target penerimaan negara dari cukai tembakau sebesar Rp230,09 triliun. Namun sampai bulan kelima tahun ini (Mei 2025), realisasinya baru mencapai Rp87 triliun atau sekitar 37,82 persen dari target.
“Penerimaan negara (dari cukai tembakau) tidak akan tercapai (tahun ini), karena produk-produk rokok yang tidak tercatat atau tidak berkontribusi terhadap penerimaan negara (ilegal) semakin membanjiri tanah air,” ketus Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji dikutip dari keterangan tertulis, Senin, 23 Juni 2025.
Selain banjirnya rokok ilegal, Agus juga menyampaikan terhambatnya penerimaan cukai tembakau tahun ini disebabkan oleh disetopnya pembelian tembakau oleh dua perusahaan rokok kretek besar PT Gudang Garam dan Nojorono di Temanggung. Hal itu memberikan dampak berganda (multiplier effect) roda ekonomi lokal dan nasional.
“Dampak tidak ada pembelian tembakau oleh dua perusahaan rokok kretek itu merupakan bencana ekonomi di Temanggung hingga 60 persen, bahkan bencana ekonomi akan merambah lebih luas di daerah sentra tembakau di Jawa Tengah,” jelas dia.
Di sektor tembakau, kata ia, terdapat kurang lebih 700 ribu keranjang tembakau yang diserap PT Gudang Garam melalui sentra pembelian di Temanggung yang menyerap di enam kabupaten (Temanggung, Wonosobo, Kendal, Magelang, Boyolali, dan Kabupaten Semarang).
“Ilustrasinya di tahun terakhir pembelian 2023, uang yang beredar dari pabrikan Gudang Garam dalam kurun waktu tiga bulan pembelian satu keranjang tembakau dengan nilai pembelian rata rata Rp2,5 juta, maka uang yang beredar di sekitar Rp1,75 triliun yang hilang di ekonomi lokal. Dan itu menggerus ekonomi petani tembakau dan turunanannya seperti rontoknya tenaga kerja di desa-desa sentra tembakau, hancurnya pengrajin keranjang, dan lain-lain,” bebernya.
Pasar rokok yang semakin tidak menentu menjadi salah satu pemicu hancurnya penjualan PT Gudang Garam selama tahun buku 2024 lalu. Berdasarkan informasi BEI, Gudang Garam membukukan laba bersih sebesar Rp 980,8 miliar turun 81,57 persen dibandingkan dengan laba pada 2023 yang mencapai Rp 5,32 triliun.
Pihak Gudang Garam beralasan penurunan ini didorong oleh sejumlah faktor terutama meningkatnya tarif cukai rokok. Selain itu, Gudang Garam juga harus bersaing dengan perusahaan rokok menengah dan kecil yang mampu menawarkan produk dengan harga lebih terjangkau. Terlebih lagi dengan maraknya peredaran rokok ilegal yang menawarkan harga jauh lebih murah karena tidak memakai cukai.
Maraknya Rokok Ilegal
Indodata Research Center mengungkapkan bahwa sepanjang 2024, peredaran rokok ilegal terdiri atas rokok tanpa pita cukai (polos), rokok palsu, rokok salah peruntukan (saltuk), rokok bekas, dan rokok salah personalisasi (salson), dengan potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 97,81 triliun.
Direktur Eksekutif Indodata Research Center Danis Saputra Wahidin menyatakan bahwa rokok ilegal yang beredar didominasi oleh jenis polos tanpa pita cukai sebesar 95,44 persen, diikuti rokok palsu 1,95 persen, saltuk 1,13 persen, rokok bekas 0,51 persen, dan salson 0,37 persen.
Berdasarkan data dari 2021 hingga 2024, dia menjelaskan bahwa konsumsi rokok ilegal menunjukkan tren peningkatan yang cukup signifikan.
“Hasil kajian memperlihatkan bahwa rokok ilegal peredarannya itu semakin meningkat dari 28 persen menjadi 30 persen dan kita menemukan angka di 46 persen di 2024. Maraknya rokok ilegal terutama rokok polos yang dominan ini diperkirakan kerugian negara Rp 97,81 triliun,” kata Danis dalam keterangannya.
Kendati pada 2025 ini pemerintah tidak menaikan tarif pita cukai tembakau, namun pemerintah menetapkan harga jual eceran (HJE) rokok mengalami kenaikan beragam per 1 Januari 2025 lalu untuk rokok kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek tangan (SKT), dan sigaret kretek tangan filter. (Adm/dari berbagai sumber)

