Diduga Rugikan Industri Domestik, AS Investigasi Impor Panel Surya dari Indonesia

JAKARTA: Komisi Perdagangan Internasional Amerika Serikat atau International Trade Commission (ITC) pada Jumat (29/8/2025) memutuskan untuk melanjutkan proses investigasi terhadap impor panel surya asal India, Indonesia, dan Laos. Impor panel surya dari ketiga negara tersebut diduga merugikan industri manufaktur domestik AS.

Jika tuduhan terbukti, produk panel surya dari India, Indonesia, dan Laos yang masuk pasar AS berisiko dikenakan tarif tambahan.

Keputusan bulat dari tiga anggota panel ITC ini menjadi kemenangan bagi produsen panel surya domestik AS yang menuding perusahaan-perusahaan China dengan operasi di India, Indonesia dan Laos mendapat subsidi pemerintah secara tidak adil dan menjual produk mereka di bawah biaya produksi di AS. Produsen AS berupaya melindungi investasi bernilai miliaran dolar dalam pembangunan pabrik di dalam negeri.

“Keputusan ITC hari ini menegaskan apa yang kami ajukan dalam petisi: produsen panel surya AS dirugikan oleh praktik perdagangan tidak adil. Perusahaan milik China maupun lainnya di Laos, Indonesia, dan India memanfaatkan celah sistem dengan praktik yang merugikan pekerjaan serta investasi di AS,” kata Tim Brightbill, penasihat utama Alliance for American Solar Manufacturing and Trade sekaligus mitra di firma hukum Wiley Rein LLP, dikutip dari Reuters.

Kasus ini pertama kali diajukan pada Juli 2025 oleh aliansi yang merupakan koalisi produsen panel surya AS tersebut, termasuk First Solar dan Qcells milik Hanwha.

Menurut data aliansi, impor dari India, Indonesia, dan Laos melonjak menjadi US$1,6 miliar tahun lalu, naik dari US$289 juta pada 2022. Banyak dari impor ini diyakini berasal dari produsen lain dari Asia Tenggara yang telah dikenai tarif, tetapi kemudian mengalihkan lokasi produksi.

Sementara itu, Departemen Perdagangan AS akan melanjutkan penyelidikan terhadap impor tersebut. Keputusan awal mengenai bea countervailing (CVD) atau antisubsidi diperkirakan keluar sekitar 10 Oktober 2025, sementara penentuan bea antidumping (AD) dijadwalkan pada 24 Desember 2025.

Dalam pemberitaan Bisnis sebelumnya, Kementerian Perdagangan RI menyatakan bahwa produsen-produsen yang menjadi sasaran penyelidikan mendapat kesempatan untuk melakukan klarifikasi jika petisi disetujui.

“Jika disetujui, maka proses investigasi akan segera dimulai. Pemerintah Indonesia dan para pelaku usaha diberikan kesempatan memberikan klarifikasi serta pembelaan dalam kasus AD/CVD ini,” kata Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Reza Pahlevi, dalam jawaban tertulis kepada Bisnis, Jumat (18/7/2025).

Reza mengemukakan bahwa Indonesia sangat menghormati mekanisme pengamanan dagang (trade remedies) di AS, mengingat posisinya sebagai mitra dagang penting Indonesia.

Kementerian Perdagangan juga mendorong agar semua proses ini dilakukan secara transparan, adil, objektif, dan berdasarkan data serta informasi yang sesuai.

“Kami akan terus berkoordinasi dengan eksportir terkait, asosiasi, perwakilan perdagangan Indonesia di AS, serta kementerian/lembaga terkait untuk mempersiapkan langkah-langkah yang diperlukan dalam melindungi kepentingan Indonesia termasuk memastikan ekspor ke AS tetap berjalan lancar,” papar Reza.

Amerika Serikat memang merupakan salah satu destinasi ekspor panel surya Indonesia. Namun, Reza mengatakan pangsa Indonesia di AS relatif kecil dibandingkan dengan negara lain. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor panel surya atau photovoltaic cells assembled in modules or made up into panels dengan kode HS 85414300 ke Amerika Serikat tercatat tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2021, ekspor panel surya Indonesia ke AS hanya bernilai US$19,88 juta. Nilai tersebut melesat menjadi US$164,18 juta pada 2022, kemudian US$222,57 juta pada 2023 dan US$553,44 juta sepanjang 2024. Adapun untuk periode Januari–Juni 2025, total ekspor panel surya ke AS bernilai US$511,06  juta. 

“Kementerian Perdagangan akan terus memantau perkembangan kasus AD/CVD ini dan tentu akan menyampaikan informasi lebih lanjut apabila sudah ada keputusan resmi dari USDOC,” tutup Reza.

Sebagai catatan, aliansi yang mencakup perusahaan-perusahaan seperti Tempe, First Solar, Qcells, Hwanha dan Talon PV juga telah mengajukan petisi serupa dengan produsen asal Malaysia, Kamboja, Vietnam dan Thailand sebagai sasaran.

Penyelidikan dumping yang dilakukan Departemen Perdagangan AS itu berujung pada tarif impor dengan besaran ratusan persen hingga 3.500% bagi sejumlah produsen asal negara tersebut. (adm/bisnis.com)