Danantara Dapat Utang Rp163 Triliun, Jadi Beban Baru BUMN?

JAKARTA: Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) telah mendapatkan persetujuan pendanaan dari 12 bank asing. Tidak tanggung-tanggung, nilainya mencapai US$ 10 miliar setara Rp 163,18 triliun (asumsi kurs Rp 16.318 per US$).

Pendanaan tersebut melengkapi komitmen yang sudah terealisasi sebelumnya yaitu dari pendanaan US$ 7 miliar dari Qatar sebesar US$ 4 miliar setara Rp 65,27 triliun, ada pula pendanaan dari China Investment Corporation (CIC) sebesar US$ 2 miliar setara Rp 32,64 triliun. Kemudian, terdapat pendanaan juga dari Russian Direct Investment Fund (RDIF).

CEO Danantara Rosan Perkasa Roeslani mengungkapkan pendanaan yang diberikan tersebut menjadi bukti bahwa Danantara telah dipercaya di kancah global. Hal itu juga didukung bahwa pembiayaan tersebut diberikan tanpa jaminan apapun.

“Alhamdulillah, (Danantara) mendapatkan kepercayaan dari 12 bank, mendapatkan pinjaman, dan ini adalah kepercayaan revolving facility terbesar di Asia yang diberikan kepada Sovereign Wealth Fund,” bebernya dalam acara Penyerahan Dokumen Pra FS ke Danantara, di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Selasa (22/7/2025).

Pendanaan 12 bank melalui Danantara tersebut dipercaya menjadi langkah awal meningkatnya kepercayaan pihak asing ke Danantara. Berbagai proyek investasi akan ditawarkan oleh Danantara dengan tetap mengacu pada kriteria yang telah ditentukan.

“Karena, kalau kita berinvestasi, harus ada return-nya, harus ada keuntungannya, karena itu juga tanggung jawab yang diberikan kepada kami,” tambahnya.

Terhitung selama 4 bulan sejak Danantara diresmikan, sebanyak US$ 7 miliar setara Rp 114,23 triliun pinjaman resmi diterima oleh Danantara. Pendanaan tersebut berupa ekuitas, baik umum maupun privat melalui dana investasi pemerintah (sovereign wealth fund), termasuk US$10 miliar yang baru saja diperoleh dari bank asing.

Menurut Rosan, dukungan internasional yang terus mengalir menjadi sinyal positif terhadap potensi investasi di Indonesia.

Namun ia menekankan bahwa dampak langsung dari investasi ini juga harus dirasakan oleh masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

“Ini baru awal. Tugas ke depan tidak bisa kami jalankan sendiri. Butuh kolaborasi lintas sektor,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Danantara menerima 18 dokumen Pra Feasibility Study (Pra-FS) dari sejumlah proyek hilirisasi di berbagai sektor. Total nilai proyek tersebut mencapai US$ 38,63 miliar atau setara Rp 618,13 triliun.

Resiko Baru BUMN

Aksi korporasi Danantara mendapatkan kucuran pinjaman asing tersebut justru mengundang resiko baru bagi BUMN. BUMN yang selama sudah bergelimang utang tentu akan semakin berat menanggung beban.

“Pinjaman akan dibayar dengan pendapatan dari investasi serta reinvestasi yang akan dikelola BUMN,” kata Rosan.

Dengan dana jumbo itu, Danantara bakal menggarap banyak proyek. Yang utama adalah restrukturisasi BUMN yang selama ini “sakit”, seperti PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Proyek lain yang menjadi prioritas adalah penghiliran di sektor energi, perkebunan, serta perikanan yang butuh modal besar. Untuk kegiatan ini, ada 21 proyek pada tahap pertama dengan kebutuhan investasi US$ 40 miliar. 

Di satu sisi, pinjaman jumbo ini seolah-olah tak memberatkan pemerintah karena tak memerlukan jaminan negara. Tapi, lagi-lagi, kredit tanpa agunan pasti mempersyaratkan bunga tinggi. Dan, untuk membayarnya, Danantara pasti mengandalkan setoran dividen dari BUMN yang kini mereka kelola. Inilah risiko yang dikhawatirkan akan membebani BUMN dalam jangka panjang.

Sampai 2023, total utang pendanaan BUMN mencapai Rp1.627,62 triliun, turun 1,9% dari sebelumnya Rp1.659,34 triliun. Penurunan utang BUMN ini utamanya disumbangkan oleh Pertamina yang memangkas pinjaman sebesar Rp40 triliun, Hutama Karya turun 30% (Rp14,4 triliun), hingga PLN yang turun 3% (Rp12,9%). 

Salah satu gambaran risiko pada BUMN adalah “paksaan” untuk menyetor dividen lebih banyak dengan cara memperbesar payout ratio atau rasio dividen terhadap laba. Ketika ini terjadi, BUMN tak bisa memanfaatkan laba mereka untuk berinvestasi atau menggenjot layanan publik yang sebenarnya menjadi tugas mereka. Risiko lain adalah gagal bayar, manakala Danantara tercekik bunga tinggi. Jika ini terjadi, siapa lagi yang akan menanggung bebannya selain pemerintah. (adm/diolah dari berbagai sumber)